Jumat, 09 Desember 2016

Cinta dan Hujan


Semua orang bilang aku terlalu sabar memendam cinta dalam diam. bertahun-tahun tetap menunggu sesuatu yang belum pasti dan mereka sering bertanya mengapa aku tak memastikan padamu? Apa kau juga menyimpan perasaan yang sama sepertiku?

Apa kau tahu? Cinta tak diam. aku mengatakannya lewat tatapan mataku kepadamu, aku mengatakannya lewat gugupnya tingkah ketika di depanmu, aku mengatakannya lewat belasan tulisan yang selalu tertuju padamu, aku mengatakannya lewat doa-doaku yang menyebut namamu. Aku bahkan mengatakannya dengan sangat jelas dengan selalu memberikan kabar penting hidupku kepadamu. Apa kau tak pernah melihatnya? Atau jika itu terlihat suram, setidaknya hati nuranimu apakah tak bisa merasakannya?

Seandainya semua perasaanku ini laksana hujan, hujan ini sudah begitu derasnya. Bagaimana mungkin kamu tak melihat dan merasakannya?

Apakah kau berada di dalam gedung tertutup hingga tak tahu hujan diluar begitu derasnya? Lalu gedung apakah yang membentengi hatimu begitu kuat hingga kau benar-benar tidak melihat cintaku? Bagaimana mungkin pria dewasa sepertimu tidak tahu ada gadis yang diam-diam mencintaimu bertahun-tahun? Bagaimana mungkin? Sedangkan sorot mataku ketika menatapmu saja mampu menjelaskan aku mencintaimu. 

Jangan-jangan kamu memang tahu semua perasaanku laksana hujan dan kau menerobos hujan dengan membawa payung, menolak semuanya. Jika seperti itu, kau pasti merasa terganggu dengan hujan ini bukan? Mengapa kau tak memintaku berhenti? Ah kamu benar, bukankah kita tak pernah bisa memaksa hujan untuk berhenti? Hanya bisa ditunggu hingga reda dengan sendirinya. Lalu kamu hanya diam membiarkan semua hujan ini tumpah ruah. Meski sekelilingmu basah dengan air mata, kamu hanya akan bilang semua akan baik-baik saja. Matahari akan bersinar kembali. Jadi kamu merasa tak perlu berbuat apa-apa hanya menyerahkan pada waktu tentang hatiku.

Jarak Kita dalam Tanda Tanya


Pernahkah kau memahami tentang jarak?

Ini bukan tentang jarak ribuan kilometer yang sekarang memisahkan kita. Bukan juga tentang jarak kita dulu yang hanya tetangga sebelah desa. Bahkan kita pernah memiliki jarak yang sangat dekat bukan? Jarak antara jabat tangan kita yang begitu lekat, Jarak antara pengemudi dan penumpang motor yang begitu erat,  Jarak antara laki-laki dan perempuan bersisian yang menatap langit malam begitu rekat. Bukankah kita pernah berada di jarak yang teramat dekat sebelum jarak ribuan kilometer memisahkan raga kita?

Tapi bukan itu yang hendak kutanyakan padamu. Bukan tentang jarak yang bisa diukur skalanya menggunakan satuan, ini bukan tentang jarak yang bisa ditempuh dengan berbagai angkutan. Tapi ini tentang jarak hati kita. Bisakah kau mengukurnya? Atau bisakah kau menjawab pertanyaanku ini dengan sederhana, Hatimu kepadaku terasa dekat atau jauh? Maka, jawabanmu itu akan cukup menjawab teka-teki kehidupanku.

Bukankah pernah ada pepatah, jauh dimata dekat dihati . Kau pasti tahu pepatah itu bukan? Maka sejauh apapun jarak kilometer kita, hati yang dekat tanpa sekat tak akan terpisah. Tapi tahukah kau, hal sia-sia apa yang kulakukan selama ini? 

Aku pernah menganggap bahwa dengan memberi jarak kepadamu, aku berharap hatiku juga akan berjarak terhadapmu. Tapi rupanya aku salah mengira. Sangat salah. Kenyataanya, ribuan jarak berkilo-kilo meter dipisahkan bandara, udara, dan laut jawa hatiku tetap memilihmu. Rasanya ini bukan memilih. Karena jika ini pilihan, aku tak ingin menjatuhkan pilihan hatiku secepat itu, apalagi untuk kemudian harus menunggu bertahun-tahun. Namun bagaimana? Hati ini sudah terlanjur merasa dekat. Maka hati yang sudah sangat penuh oleh satu namamu ini, bagaimana mungkin bisa terisi dengan nama yang lain?

Itulah teka-teki hatiku, rasanya begitu rumit. Denganmu yang yang terus membisu tanpa pernah menjawab tanyaku.